20 Jan 2010

SEJARAH, TEORI, JENIS, DAN FUNGSI HUMOR

213
SEJARAH, TEORI, JENIS, DAN FUNGSI HUMOR
Didiek Rahmanadji
Seni dan Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
Abstract: This article discusses some issues pertaining to humor. It touches on the assumption
that human beings are bound to be in search of happiness a portion of which is
met by enjoying funny and amusing humors. The article will talk about some theories
about humor. It will also address kinds of humors which include personal humors, slang
humors, and artistic humors. The article will also address the functions of humor which
encompass the notions of communication message, media critique, and antidepressant
.
Keywords: happiness, humor, media critique, anti-depressant.
Naluri manusia untuk mencari kegirangan,
kesenangan, kegembiraan, dan hiburan sudah
dimiliki sejak masih bayi. Sejak seorang
bayi dilahirkan, ibunya segera melatihnya
untuk menyukai kegembiraan.
Hampir setiap saat, ibu tersebut mengusahakan
dengan giat agar sang anak dapat tertawa
girang. Ia sering menirukan tingkah
laku binatang, mengeluarkan bunyi anehaneh,
dan memperagakan hal-hal yang tidak
masuk akal, selalu merangsang agar anaknya
suka tertawa. Ketika sang anak sudah
beranjak dewasa, kebutuhan akan kegembiraan
itu sudah melekat erat dalam dirinya.
Manusia hidup dengan naluri kuat untuk
mencari kegembiraan dan hiburan (Hendarto,
1990).
Mereka yang dapat mencari kegembiraan,
biasanya tidak berminat untuk mencari
definisi tentang sesuatu yang disebut
lucu . Agaknya, bagian yang tersulit untuk
dirumuskan adalah hal-hal yang menyangkut
perbedaan-perbedaan penga-laman pribadi
tentang sesuatu yang menyebabkan seseorang
tertawa atau tersenyum. Pengalaman
tentang kelucuan pada dasarnya merupakan
pengalaman personal (Sumarthana,
1983).
Kelucuan juga selalu kena-mengena
dengan hal-hal yang tidak wajar atau
umum. Yang wajar dan umum, tidak memerlukan
perbaikan atau tidak lagi menyediakan
wadah untuk menjadi lucu. Halhal
yang aneh dan nyeleneh dapat menjadikan
humor (Setiawan, 1990). Semua itu
tidak menutup kemungkinan bahwa segala
sesuatu yang ada di dunia ini berpotensi untuk
dijadikan bahan lelucon.
Kelucuan atau humor berlaku bagi
manusia normal, untuk menghibur karena
hiburan merupakan kebutuhan mutlak
bagi manusia untuk ketahanan diri dalam
proses pertahanan hidupnya (Widjaja,
1993). Dengan demikian, keberadaan humor
sebagai sarana hiburan sangat penting.
Humor dapat tampil mantap sebagai penyegar
pikiran dan sekaligus sebagai penyejuk
batin, dan penyalur uneg-uneg
Rahmanadji, Sejarah, Teori dan Fungsi Humor 215
215
(Pramono, 1983). Humor dapat juga memberikan
suatu wawasan yang arif sambil
tampil menghibur. Humor dapat pula menyampaikan
siratan menyindir atau suatu
kritikan yang bernuansa tawa. Humor juga
dapat sebagai sarana persuasi untuk mempermudah
masuknya informasi atau pesan
yang ingin disampaikan sebagai sesuatu
yang serius dan formal (Gauter, 1988).
Dengan mengerti dan menyadari halhal
tersebut, dapat disimpulkan bahwa
humor memiliki suatu potensi penting. Humor
dapat dijadikan suatu bahan untuk dikaji
sebagai semacam ilmu . Semakin kritis
suatu masyarakat, semakin tinggi pula
permintaan mereka akan humor (Hassan,
1981). Dimensi keseriusan humor tampak
pada penekanan syarat intelektual bagi
pelaku atau penikmatnya (Manser, 1989).
SEJARAH HUMOR
Humor mungkin sudah ada sejak manusia
mengenal bahasa, atau bahkan lebih tua.
Humor sebagai salah satu sumber rasa gembira,
mungkin, sudah menyatu dengan kelahiran
manusia. Jika dilacak asal-usulnya,
humor berasal dari kata Latin umor yang
berarti cairan . Sejak 400 SM, orang
Yunani Kuno beranggapan bahwa suasana
hati manusia ditentukan oleh empat macam
cairan di dalam tubuh, yaitu: darah
(sanguis), lendir (phlegm), empedu kuning
(choler), dan empedu hitam (melancholy).
Perimbangan jumlah cairan tersebut menentukan
suasana hati. Kelebihan salah satu di
antaranya akan membawa pada suasana
tertentu. Darah menentukan suasana
gembira (sanguine), lendir menentukan
suasana tenang atau dingin (phlegmatic),
empedu kuning menentukan suasana marah
(choleric), dan empedu hitam untuk suasana
sedih (melancholic). Tiap cairan tersebut
mempunyai karakteristik tersendiri dalam
mempengaruhi setiap orang. Kekurangan
darah menyebabkan orang tidak pemarah.
Kelebihan empedu kuning menyebabkan
jadi angkuh, pendendam, ambisius, dan
licik (Manser, 1989).
Teori mengenai cairan itu merupakan
upaya pertama untuk menjelaskan tentang
sesuatu yang disebut humor. Namun
demikian, ajaran yang disusun oleh Plato itu
tampaknya sudah tidak ada hubungannya
dengan pengertian umum di zaman
sekarang ini. Dalam perkembangan selanjutnya,
selama berabad-abad, lahirlah segala
macam teori yang berupaya untuk mendefinisikan
humor, yang mengacu pada artian
humor seperti yang sekarang lazim dimaksudkan,
yang ada hubungannya dengan
segala sesuatu yang membuat orang menjadi
tertawa gembira (Setiawan, 1990).
Perkembangan humor di Inggris sudah
terlembaga sejak abad ke-16 (Calley, 1997).
Pada masa tersebut, terdapat penulis dan
pemain teater humor yang sering disebut
pemain komedi. Komedian yang terkenal
yaitu Ben Johnson, yang satu karyanya berjudul
Man Out of His Humor . Karya
tersebut memperlihatkan dua bentuk humor
yang berbeda dalam kehidupan, yaitu humor
dalam kata-kata dan humor dalam tingkah
laku. Abad ke-17 merupakan zaman
yang sangat pesat bagi perkembangan humor
di Inggris, terutama dalam hal teater
komedi dan naskah humor. Teater komedi
akhirnya menjadi tradisi masa selanjutnya.
Pertengahan abad ke-18, teater humor
bermetamorfosa menjadi satire. Sampai
akhir abad ke-18, bentuk teater etrsebut
menjadi mode di seluruh daratan Eropa.
Abad ke-19, humor di Eropa menentukan
bentuk baru dalam wujud komik. Abad itu
ditandai de-ngan munculnya berbagai
macam komik humor dari Jerman, yang
kemudian menjadi kegemaran seluruh daratan
Eropa bahkan sampai ke daratan
Amerika dan Asia.
Di daratan Eropa dan sebagian
Amerika, humor sudah dianggap menjadi
Rahmanadji, Sejarah, Teori dan Fungsi Humor 215
bagian dari kehidupan (Gauter, 1988).
Bahkan dianggap sebagai suatu seni yang
setara dengan seni lainnya. Setelah peranan
humor meningkat, terutama dalam komik
dan komedi, setara satire, pada awal abad
ke-20; humor memasuki era baru. Pada
awal abad itu, humor sangat dominan dalam
teater komedi dan film. Sampai saat itu,
media massa film masih merupakan ladang
subur bagi kehidupan humor. Komedi dan
satire tetap bertahan di kalangan tertentu.
Charlie Chaplin, yang dilahirkan April
1889, merupakan seorang komedian terkenal
di dunia humor modern. Film yang
dibintanginya memberi inspirasi yang besar
sekali dalam perkembangan humor pada
umumnya. Humor menjadi salah satu objek
penelitian semenjak awal abad ke-20. Berbagai
tulisan mengenai humor telah diterbitkan
para ilmuwan dari berbagai cabang
ilmu sosial, terutama dari perspektif psikologi
(Hendarto, 1990).
Di Indonesia, secara informal, humor
juga sudah menjadi bagian dari kesenian
rakyat, seperti ludruk, ketoprak, lenong,
wayang kulit, wayang golek, dan sebagainya.
Unsur humor di dalam kelompok
kesenian menjadi unsur penunjang, bahkan
menjadi unsur penentu daya tarik. Humor
yang dalam istilah lainnya sering disebut
dengan lawak, banyolan, dagelan, dan sebagainya,
menjadi lebih terlembaga setelah
Indonesia merdeka, seperti munculnya
grup-grup lawak Atmonadi Cs, Kwartet
Jaya, Loka Ria, Srimulat, Surya Grup, dan
lain-lain (Widjaja, 1993).
Perkembangan lain terjadi pada media
massa cetak, baik majalah maupun surat kabar.
Tahun 60-an terbit beberapa majalah
humor, namun tidak bertahan lama. Di antaranya
adalah majalah STOP. Surat kabar
membuka rubrik khusus untuk humor.
Cerita-cerita lucu, anekdot, karikatur, dan
kartun sering dijumpai pada media massa
cetak (Kusmartiny, 1993).
TEORI HUMOR
Teori humor jumlahnya sangat banyak,
tidak satu pun yang persis sama dengan
yang lainnya, tidak satu pun juga yang bisa
mendeskripsikan humor secara menyeluruh,
dan semua cenderung saling terpengaruh
(Setia-wan, 1990).
Dewasa ini, pengertian humor yang paling
awam , ialah sesuatu yang lucu, yang
menimbulkan kegelian atau tawa.
Humor identik dengan segala sesuatu
yang lucu, yang membuat orang tertawa.
Pengertian awam tersebut tidaklah keliru.
Dalam Ensiklopedia Indonesia (1982),
seperti yang dinyatakan oleh Setiawan
(1990),
Humor itu kualitas untuk menghimbau
rasa geli atau lucu, karena keganjilannya
atau ketidakpantasannya
yang menggelikan; paduan antara rasa
kelucuan yang halus di dalam diri
manusia dan kesadaran hidup yang
iba dengan sikap simpatik.
Lebih lanjut, teori humor dibagi dalam
tiga kelompok (Manser, 1989), meliputi: (1)
teori superioritas dan meremehkan, yaitu
jika yang menertawakan berada pada posisi
super; sedangkan objek yang ditertawakan
berada pada posisi degradasi (diremehkan
atau dihina). Plato, Cicero, Aristoteles, dan
Francis Bacon (dalam Gauter, 1988) mengatakan
bahwa orang tertawa apabila ada
sesuatu yang menggelikan dan di luar kebiasaan.
Menggelikan diartikan sebagai sesuatu
yang menyalahi aturan atau sesuatu
yang sangat jelek. Lelucon yang menimbulkan
ketertawaan, juga mengandung banyak
kebencian. Lelucon selalu timbul dari kesalahan/
kekhilafan yang menggoda dan
kemarahan; (2) teori mengenai ketidakseimbangan,
putus harapan, dan bisosiasi.
Arthur Koestler (Setiawan, 1990) dalam
teori bisosiasinya mengatakan bahwa hal
yang mendasari semua bentuk humor adalah
BAHASA DAN SENI, Tahun 35, Nomor 2, Agustus 2007 216
bisosiasi, yaitu mengemukakan dua situasi
atau kejadian yang mustahil terjadi sekaligus.
Konteks tersebut menimbulkan bermacam-
macam asosiasi; (3) teori mengenai
pembebasan ketegangan atau pembebasan
dari tekanan. Humor dapat muncul dari sesuatu
kebohongan dan tipuan muslihat; dapat
muncul berupa rasa simpati dan pengertian;
dapat menjadi simbol pembebasan
ketegangan dan tekanan; dapat berupa ungkapan
awam atau elite; dapat pula serius
seperti satire dan murahan seperti humor
jalanan. Humor tidak mengganggu kebenaran.
Fuad Hasan dalam tulisan Humor dan
Kepribadian (1981) membagi humor dalam
dua kelompok besar, yaitu: (1) humor
pada dasarnya berupa tindakan agresif yang
dimaksudkan untuk melakukan degradasi
terhadap seseorang; (2) humor adalah tindakan
untuk melampiaskan perasaan tertekan
melalui cara yang ringan dan dapat dimengerti,
dengan akibat kendornya ketegangan
jiwa.
Arwah Setiawan (dalam Suhadi, 1989),
mengatakan sebagai berikut:
Humor itu adalah rasa atau gejala
yang merangsang kita untuk tertawa
atau cenderung tertawa secara mental,
ia bisa berupa rasa, atau kesadaran, di
dalam diri kita (sense of humor); bisa
berupa suatu gejala atau hasil cipta
dari dalam maupun dari luar diri kita.
Bila dihadapkan pada humor, kita
bisa langsung tertawa lepas atau
cenderung tertawa saja; misalnya
tersenyum atau merasa tergelitik di
dalam batin saja. Rangsangan yang
ditimbulkan haruslah rangsangan
mental untuk tertawa, bukan rangsangan
fisik seperti dikili-kili yang
mendatangkan rasa geli namun bukan
akibat humor .
Persoalan humor oleh beberapa orang
dianggap sebagai persoalan teori estetik ,
yang dicoba untuk diterangkan lewat berbagai
teori tentang humor. Teori humor mencoba
menerangkan bagaimana suatu hal dapat
membangkitkan tawa atau geli pada seseorang.
Seperti yang diungkapkan Setiawan
(1990) dalam majalah Astaga, teori humor
digolongkan menjadi tiga macam, yaitu: (1)
teori keunggulan; seseorang akan tertawa
jika ia secara tiba-tiba memperoleh perasaan
unggul atau lebih sempurna dihadapkan
pada pihak lain yang melakukan kesalahan,
kekurangan atau mengalami ke-adaan yang
tidak menguntungkan. Kita dapat tertawa
terbahak-bahak pada waktu melihat pelawak
terjatuh, terinjak kaki temannya serta
melakukan berbagai kekeliruan dan ketololan;
(2) teori ketaksesuaian; perasaan
lucu timbul karena kita dihadapkan pada
situasi yang sama sekali tak terduga atau tidak
pada tempatnya secara mendadak, sebagai
perubahan atas situasi yang sangat diharapkan.
Harapan dikacaukan, kita dibawa
pada suatu sikap mental yang sama sekali
berbeda. Sebagai contoh adalah rasa humor
yang timbul karena kita melihat kartun yang
menggambarkan seseorang yang sedang
mancing.
Gambar pertama, menunjukkan orang
dengan penuh harapan menunggu
umpannya dilahap ikan. Gambar kedua
menunjukkan rasa gembira orang itu karena
ada tanda-tanda bahwa ikan yang besar telah
menarik kailnya. Gambar ketiga,
menunjukkan tiba-tiba, orang itu tercebur
ke sungai. Rupanya, ikan yang amat besar
telah menyeretnya ke dalam sungai; (3) teori
kelegaan atau kebebasan; inti humor
adalah pelepasan atas kekangan-kekangan
yang terdapat pada diri seseorang. Bila
dorongan-dorongan batin alamiah mendapat
kekangan, dapat dilepaskan atau dikendorkan,
misalnya lewat lelucon seks, sindiran
jenaka atau umpatan, meledaklah
perasaan menjadi tertawa.
Rahmanadji, Sejarah, Teori dan Fungsi Humor 217
Kartun: Gambar lelucon yang mengundang senyum atau tawa
Seorang pakar humor dari Semarang,
Jaya Suprana, rupanya sudah menjadi
korban kepusingan dalam upaya memahami
segala benang ruwet tentang teori humor,
yang akhirnya membuang segala pretensi
untuk memasang perumusan apa pun terhadap
humor. Ia dengan ringan dan riangnya
mengumumkan bahwa humor itu indah, sebuah
misteri dalam kehidupan yang tak
perlu lagi dikekang dalam batasan pemahaman
(Suhadi, 1989).
JENIS HUMOR
Jenis humor menurut Arwah Setiawan
(1988) dapat dibedakan menurut kriterium
bentuk ekspresi . Sebagai bentuk ekspresi
dalam kehidupan kita, humor dibagi menjadi
tiga jenis yakni (1) humor personal,
yaitu kecenderungan tertawa pada diri kita,
misalnya bila kita melihat sebatang pohon
yang bentuknya mirip orang sedang buang
air besar; (2) humor dalam pergaulan, misBAHASA
DAN SENI, Tahun 35, Nomor 2, Agustus 2007 218
alnya senda gurau di antara teman, kelucuan
yang diselipkan dalam pidato atau ceramah
di depan umum; (3) humor dalam kesenian,
atau seni humor. Humor dalam kesenian
masih dibagi menjadi seperti berikut.
Humor lakuan, misalnya: lawak, tari
humor, dan pantomim lucu.
Humor grafis, misalnya: kartun, karikatur,
foto jenaka, dan patung lucu.
Humor literatur, misalnya: cerpen lucu,
esei satiris, sajak jenaka, dan semacamnya.
Jika yang digunakan adalah kriterium
maksud dalam komunikasi, dalam humor
ada tiga jenis komunikasi, yaitu: (a) si
penyampai memang bermaksud melucu,
dan si penerima menerima sebagai lelucon;
(b) si penyampai tidak bermaksud melucu,
namun si penerima menganggap lucu; (c) si
penyampai bermaksud melucu, namun si
penerima tidak menganggap lucu (Manser,
1989).
Dalam komunikasi, keberhasilan seorang
komunikator dalam berkomunikasi
adalah, jika pesan yang disampaikannya cepat
diterima oleh komunikan sesuai dengan
apa yang dimaksud si komunikator. Keberhasilan
seorang pelaku humor ketika stimulus
humor yang dilancarkannya diterima
oleh penerima humor sebagaimana yang
dimaksud oleh pelaku humor tersebut.
Stimulus humor adalah kelucuan yang
mengharapkan senyum atau tawa sebagai
efek dari penerima humor (Widjaja, 1993).
Humor menurut kriterium indrawi
berupa: (1) humor verbal; (2) humor visual;
(3) humor auditif. Humor menurut kriterium
bahan adalah: (1) humor politis; (2) humor
seks; (3) humor sadis; (4) humor teka-teki.
Humor kriterium etis dapat dibedakan sebagai:
(1) humor sehat/humor yang edukatif;
(2) humor yang tidak sehat. Humor berdasarkan
kriterium estetis dapat dipisahkan
menjadi: (1) humor tinggi (yang lebih halus
dan tak langsung); (2) humor rendah (yang
kasar, yang terlalu eksplisit).
Jaya Suprana mengatakan bahwa dalam
situasi yang tidak tepat, humor bukan sesuatu
yang lucu. Bahkan humor belum tentu
menyebabkan orang tertawa, misalnya humor
seks. Bagi sebagian orang yang puritan,
humor jenis itu dianggap tabu dan kampungan
sehingga dianggap tidak lucu dan
tidak menyebabkan tertawa. Humor menjadi
kurang ajar bila menggunakan kondisi fisik
orang sebagai objek. Humor yang baik
adalah humor yang bisa membawa atau
menuju kepada kebaikan.
Kemudian, Bapak Psikoanalisis Freud,
(dalam Suhadi, 1989), memilih-milih humor
berdasarkan dua variabel, yaitu: (1) motivasi,
yang berwujud komik, tergolong sebagai
lelucon yang tanpa motivasi, karena kelucuan
hanya diperoleh dari teknik melucu
saja; dan humor yang tergolong lelucon
dengan motivasi; (2) kelompok sasaran
yang dijadikan lelucon, humor terdiri atas:
humor etnik, humor seks, dan humor
politik.
Sedangkan, menurut Pramono (1983),
humor dapat digolongkan menjadi: (1) humor
menurut penampilannya, yang terdiri
atas: humor lisan, humor tulisan/gambar,
humor gerakan tubuh; (2) menurut tujuan
dibuatnya atau tujuan pesannya, humor terdiri
atas: humor kritik, humor meringankan
beban pesan, dan humor semata-mata pesan.
FUNGSI HUMOR
Menurut Sujoko (1982) humor dapat
berfungsi untuk: (1) melaksanakan segala
keinginan dan segala tujuan gagasan atau
pesan; (2) menyadarkan orang bahwa dirinya
tidak selalu benar; (3) mengajar orang
melihat persoalan dari berbagai sudut; (4)
menghibur; (5) melancarkan pikiran; (6)
membuat orang mentoleransi sesuatu; (7)
membuat orang memahami soal pelik.
Rahmanadji, Sejarah, Teori dan Fungsi Humor 219
Karikatur: Gambar sindiran atau kritikan yang bernuansa humor
James Danandjaya (dalam Suhadi,
1989), mengatakan sebagai berikut.
Fungsi humor yang paling menonjol,
yaitu sebagai sarana penyalur perasaan
yang menekan diri seseorang.
perasaan itu bisa disebabkan oleh
macam-macam hal, seperti ketidakadilan
sosial, persaingan politik,
ekonomi, suku bangsa atau golongan,
dan kekangan dalam kebebasan gerak,
seks, atau kebebasan mengeluarkan
pendapat. Jika ada ketidakadilan biasanya
timbul humor yang berupa protes
sosial atau kekangan seks, biasanya
menimbulkan humor mengenai
seks .
Beberapa fungsi humor yang sejak dulu
sudah dikenal masyarakat kita antara lain,
fungsi pembijaksanaan orang dan penyegaran,
yang membuat orang mampu memusatkan
perhatian untuk waktu yang lama.
Fungsi itu dapat kita amati di dalam pertunjukan
wayang, di mana punakawan muncul
untuk menyegarkan suasana. Humor punakawan
biasanya mendidik serta membijaksanakan
orang (Hendarto, 1990).
Dari keterangan tersebut, dapatlah dijelaskan
bahwa penyaluran ketegangan lewat
humor sangat positif karena membawa kesejahteraan
jiwa. Jika semua perasaan tidak
puas dan ketegangan yang dialami tidak
disalurkan, akan membawa bencana, tidak
hanya bagi yang memendam, tetapi juga untuk
orang lain atau masyarakat sekitarnya.
BAHASA DAN SENI, Tahun 35, Nomor 2, Agustus 2007 220
Sujoko (1982) mengemukakan bahwa
di Indonesia kalangan mahasiswa gemar
menggunakan humor sebagai sarana kritik
sosial. Kegemaran itu menunjukkan bahwa
mahasiswa adalah personal yang sedang
dididik untuk menjadi manusia yang kritis,
serta harus bersikap skeptis sehingga jalan
pikirannya akan menjadi ilmiah, tidak begitu
saja menerima semua yang dihidangkan.
Dengan ditanamkannya sikap itu, tidak
heran apabila mereka akan protes bila melihat
orang yang seharusnya menjadi penuntun
mereka, malah menyeleweng atau
membuat terobosan seenak hatinya, serta
bersifat munafik (Sumarthana, 1983). Sangat
beralasan jika mereka (mahasiswa)
memilih humor sebagai media protes sosial
sebab media itu paling sesuai dengan kepribadian
tradisional bangsa kita yang tidak
suka dikritik secara langsung. Dengan
adanya sikap itu, di negara kita, protes tidak
langsung mempunyai pengaruh yang lebih
ampuh dibandingkan dengan protes yang
langsung. Kritik yang disampaikan secara
tertulis sering menimbulkan bencana, berbeda
jika kritik disajikan dalam bentuk humor.
Protes sosial dalam humor tidak
mungkin ditanggapi secara serius karena
yang menyuarakan sama sekali tidak bertanggung
jawab. Tanggung jawab dalam
protes sosial berupa humor sudah diambil
kolektif sehingga kolektifanlah yang bertanggung
jawab. Sementara itu, Jatiman
(dalam Suhadi, 1989), sosiolog dan staf
pengajar UI, mengatakan sebagai berikut.
Di samping sebagai sarana kritik
sosial, adakalanya, humor juga dibuat
sebagai alat aktualisasi diri. Dalam
lingkungan tertentu, segolongan
orang yang tidak berdaya untuk melemparkan
kritik langsung, mencoba
melakukannya dengan menciptakan
humor tentang yang bersangkutan .
Fungsi humor yang lain adalah sebagai
rekreasi. Dalam hal ini, humor berfungsi
untuk menghilangkan kejenuhan dalam
hidup sehari-hari yang bersifat rutin. Sifatnya
hanya sebagai hiburan semata. Selain
itu, humor juga berfungsi untuk menghilangkan
stres akibat tekanan jiwa atau batin
(Setiawan, 1990).
Emil Salim (dalam Suhadi, 1989)
berpendapat seperti berikut.
Selain merupakan salah satu cara untuk
menyampaikan kritik, juga merupakan
bagian dari proses menjalin
komunikasi sosial antara manusia.
Untuk komunikasi yang sifatnya
serius, pesan-pesan yang akan disampaikan
biasanya tidak mudah terjalin
antara kedua belah pihak. Jika pertemuan
merupakan pertemuan baru,
maka medium humor dalam tahap
komunikasi akan mempercepat terbukanya
pintu keakraban .
Bahkan, Kartono Muhamad (dalam
Suhadi, 1989) berpendapat sebagai berikut.
Humor yang baik adalah humor
yang dapat menertawakan diri sendiri,
atau humor otokritik. Meskipun
membuat diri pribadi sakit hati, humor
otokritik merupakan sesuatu
yang menunjukkan kedewasaan sikap.
Artinya, mampu memberi kritik terhadap
diri sendiri, serta dapat pula secara
terbuka menerima opini orang
lain .
Pada akhirnya, untuk menjadikan humor
yang baik , harus melihat situasi dan
kondisi. Humor dilakukan dengan tidak terlalu
berlebihan, agar mutu humor tetap
terjaga. Humor sebagai sarana komunikasi
sosial diharapkan dapat dipahami dan diterima
oleh berbagai ragam individu.
Rahmanadji, Sejarah, Teori dan Fungsi Humor 221
PENUTUP
Humor merupakan sesuatu yang dibutuhkan
oleh manusia normal, sebagai sarana
berkomunikasi untuk menyalurkan uneguneg,
pelampiasan tekanan problematik
yang dialami seseorang, dan memberikan
suatu wawasan yang arif sambil tampil
menghibur. Keberadaan humor dalam
kehidupan manusia adalah sejak manusia
mengenal bahasa, melakukan komunikasi
antar-personal. Humor merupakan hal-hal
yang lazimnya berhubungan dengan
tersenyum atau juga tertawa. Teori humor
amat beragam, namun secara menyeluruh
semua cenderung ke maksud yang sama.
Sesuatu yang menggelikan, mempesona,
aneh, identik dengan kelucuan, dan,
akhirnya, merangsang seseorang untuk tertawa
atau tersenyum. Jenis humor meliputi
humor personal, humor dalam pergaulan,
dan humor dalam kesenian. Sedangkan,
fungsi humor antara lain adalah sarana
menyatakan gagasan, sarana kritik/protes
sosial, media informasi dan media hiburan,
serta menghilangkan stres karena tekanan
jiwa/batin.
DAFTAR RUJUKAN
Calley, Alan. 1997. Humor in The Arts.
London: Flower Press.
Gauter, Dick. 1988. The Humor of Cartoon.
New York: A Pegrige Book.
Hassan, Fuad. 1981. Humor dan Kepribadian.
Jakarta: Harian Kompas, 20 April,
hal. 6.
Hendarto, Priyo. 1990. Filsafat Humor. Jakarta:
Karya Megah.
Kusmartiny, Enny. 1993. Dibalik Karya
Para Kartunis Indonesia. Jakarta: Majalah
Femina, No.20 Th.XXI, hal. 41-
42.
Manser, Juan. 1989. Dictionary of Humor.
Los Angeles: Diego and Blanco Publisher
Inc.
Pramono. 1983. Karikatur-karikatur 1970-
1980. Jakarta: Sinar Harapan.
Setiawan, Arwah. 1990. Teori Humor. Jakarta:
Majalah Astaga, No.3 Th.III, hal.
34-35.
Suhadi. 1989. Humor dalam Kehidupan.
Jakarta: Gema Press.
Sujoko. 1982. Perilaku Manusia dalam
Humor. Jakarta: Karya Pustaka.
Sumarthana. 1983. Anekdot-anekdot dalam
Kehidupan Sehari-hari. Jakarta: Sinar
Buana Press.
Widjaja, A.W. 1983. Komunikasi dan
Hubungan Masyarakat. Jakarta: Bumi
Aksara.

Tidak ada komentar: